JAMBI.WAHANANEWS.CO, JAMBI - Isu mengenai aturan tanah menganggur selama dua tahun bisa disita negara tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial hingga pada Minggu (10/08/2025).
Polemik ini mencuat bersamaan dengan kabar bahwa pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan memblokir rekening dormant atau tidak aktif milik masyarakat.
Baca Juga:
Isu Negara Akan Ambil Tanah Girik Tahun 2026 Dibantah ATR/BPN
Di berbagai platform, warganet ramai membandingkan kedua kebijakan tersebut.
Salah satu unggahan yang viral mengatakan “Rekening nganggur 3 bulan diblokir negara, tanah nganggur 2 tahun disita negara, kami nganggur bertahun-tahun negara tidak peduli.”
Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dari total 55,9 juta hektar tanah bersertifikat di Indonesia, sekitar 1,4 juta hektar di antaranya dibiarkan menganggur atau terlantar.
Baca Juga:
Jokowi Dikabarkan Kritis dan Masuk RS, Ternyata Cuma Video Lama di Malioboro
Dasar Hukum dan Ketentuan
Aturan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Regulasi tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan lebih dari dua tahun sejak hak atas tanah diberikan.
Jenis hak tanah yang dapat dikenai aturan ini meliputi Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan (HPL), serta Hak Milik. Tanah dianggap terlantar apabila tidak diusahakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara sesuai tujuan pemberian haknya.
Prioritas Penertiban
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) ATR/BPN, Jonahar, menegaskan kebijakan ini tidak serta-merta menyasar tanah milik masyarakat. Saat ini, fokus penertiban adalah tanah berstatus HGU dan HGB milik badan hukum seperti perusahaan.
Pemilik tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak perlu khawatir berlebihan, kecuali lahannya dibiarkan tidak digunakan dalam jangka waktu sangat lama atau fungsi sosialnya tidak terpenuhi, termasuk jika dikuasai pihak lain selama 20 tahun berturut-turut tanpa dasar hukum.
Tahapan Sebelum Pengambilalihan
Pengambilalihan tanah tidak dilakukan secara tiba-tiba. Prosesnya melalui beberapa tahap:
1. Identifikasi oleh petugas BPN.
2. Surat konfirmasi kepada pemilik tanah mengenai rencana penggunaan lahan.
3. Jika tidak ada upaya pemanfaatan dalam 3 bulan, BPN akan mengirim tiga kali surat peringatan:
Peringatan pertama: tenggat 180 hari.
Peringatan kedua: tenggat 90 hari.
Peringatan ketiga: tenggat 45 hari.
4. Apabila semua tahapan ini diabaikan, tanah akan ditetapkan sebagai tanah terlantar dan diambil alih oleh negara.
Tujuan Kebijakan
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian ATR/BPN), Jonahar menegaskan, kebijakan penertiban bukanlah bentuk pengambilalihan tanah oleh negara secara sepihak, melainkan langkah hukum untuk menghindari konflik pertanahan serta mengatur pemanfaatan tanah agar sesuai dengan peruntukannya.
Adapun untuk tanah HGU dan HGB, ketentuan berbeda berlaku. Berdasarkan PP yang sama, tanah berstatus HGU dan HGB dapat ditertibkan jika dalam jangka waktu dua tahun sejak haknya diterbitkan tidak dimanfaatkan sesuai rencana awal.
“Kalau HGU, ya harus ditanami sesuai proposalnya. Kalau HGB, harus dibangun sesuai peruntukannya. Kalau hak milik, cukup dijaga dan jangan sampai dikuasai orang lain tanpa hak,” jelasnya.
Jonahar pun mengimbau masyarakat pemilik tanah baik yang tinggal di atas lahan maupun yang tinggal jauh dari lokasi untuk tetap menjaga, merawat, dan memastikan tanahnya tidak digunakan pihak lain secara ilegal.
Sebagai penutup, Jonahar kembali menekankan bahwa tujuan dari kebijakan penertiban tanah bukanlah untuk merampas hak masyarakat, melainkan untuk memastikan bahwa seluruh tanah di Indonesia digunakan secara optimal dan adil.
“Kebijakan ini, adalah implementasi dari Pasal 33 UUD 1945, di mana tanah dan kekayaan agraria dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” pungkasnya.
[Redaktur : Ados Sianturi]