WahanaNews-Jambi | Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut dugaan korupsi Pengadaan Tower Transmisi Tahun 2016 pada PT PLN (persero).
Hari ini tim penyidik memeriksa Dirjen Ketenagalistrikan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, inisial J dan beberapa orang lainnya sebagai saksi.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
"Tim jaksa penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung memeriksa 4 orang saksi yang terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya Kamis (11/8/2022).
Adapun keempat saksi yang diperiksa adalah:
1. J selaku Direktur Jenderal Ketenagalistrikan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI,
2. MW selaku Kepala Subdirektorat Industri Mesin Peralatan Listrik dan Alat Kesehatan Kementerian Perindustrian RI,
3. BAP selaku Sub Coordinator pada Subdirektorat Industri Mesin Peralatan Listrik dan Alat Kesehatan pada Kementerian Perindustrian RI,
4. E selaku Karyawan PT PLN UIP V,
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Tower Transmisi Tahun 2016 pada PT PLN (persero)," ujar Ketut.
Duduk Perkara
Kasus bermula, pada tahun 2016 PT PLN (Persero) memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan Rp 2.251.592.767.354 (triliun). Proyek pengadaan tower itu dilaksanakan oleh PT PLN (Persero) dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower.
Namun proses pengadaan tower transmisi ini dilakukan dengan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan. Perbuatan itu, kata Ketut, menimbulkan kerugian keuangan negara.
Tak hanya itu, kata Ketut, dokumen perencanaan pengadaan proyek pada 2016 juga tidak pernah dibuat. Sementara itu, pengadaan tower ini menggunakan daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 yang seharusnya menggunakan produk DPT 2016.
"Dokumen perencanaan pengadaan tidak dibuat, menggunakan daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower, padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat pada 2016, namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat," ujar Ketut.
Ketut mengungkap PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari Aspatindo. Hal itu pula yang mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka.
Dalam hal ini, Ketua Aspatindo juga menjabat Direktur Operasional PT Bukaka.
PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak Oktober 2016 hingga Oktober 2017. Realisasi pekerjaan itu sebesar 30 persen.
Lalu, pada November 2017 hingga Mei 2018, penyedia tower tetap mengerjakan pengadaan tower tanpa legal standing. Hal itu kemudian memaksa PT PLN melakukan adendum yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun.
PT PLN, tambah Ketut, juga melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi sekitar 10 ribu set tower, dan perpanjangan waktu pekerjaan sampai dengan Maret 2019, karena dengan alasan pekerjaan belum selesai.
Dari situ, kata Ketut, ditemukan adanya tambahan alokasi sebanyak 3.000 set tower di luar kontrak dan adendum.[zbr]