Wahananews-Jambi |Istilah wartawan abal-abal saat ini sudah menjadi buah bibir berbagai pihak termasuk kalangan jurnalis. Dewan Pers bersuara lantang tentang prilaku wartawan abal-abal, yang dituding merusak citra dan harga diri wartawan.
Tudingan miring Dewan Pers itu ya wajar-wajar saja, karena memang Dewan Pers punya tanggungjawab moral dan bertugas untuk meningkatkan kualitas dan profesional kalangan wartawan.
Baca Juga:
Perang Melawan Narkoba: Polda Sumut Ungkap 32 Kasus dan Sita 201 Kg Sabu, 272 Kg Ganja serta 40.000 butir Ekstasi
Jadi, wajar jugalah kalau Dewan Pers mencurigai wartawan abal-abal yang merusak citra profesi wartawan. Kenapa? Karena kata abal-abal sama dengan ecek-ecek yang samadengannya palsu, tiruan, murahan. Istilah abal-abal ini bisa juga untuk menggambarkan sesuatu yang tidak berkualitas dan murahan.
Sementara menurut beberapa sumber yang kami lihat dijelaskan ciri-ciri wartawan abal-abal yaitu
1.Berpenampilan sok jago dan tidak tahu etika,
2.Mengaku anggota organisasi wartawan tapi tidak jelas, alias di luar PWI, AJI dan IJTI dan memakai atribut aneh
Baca Juga:
Curah Hujan Tinggi Picu Banjir di Tapteng, Ratusan Rumah Terendam
3.Pertanyaan yang diajukan terkesan tendensius dan congkak, serta sok tahu,
4.Tidak bertatakrama jurnalis, meremehkan bahkan kadang mengancam dan memeras narasumber, serta tidak bisa memperlihatkan kartu kompetensi.
Seiring kemajuan dunia informasi dan tehnologi informasi, masyarakat harus mampu membedakan antara wartawan profesional dan wartawan abal-abal (palsu).
Untuk meningkatkan profesional wartawan, maka pemerintah membentuk lembaga Dewan Pers dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebenarnya, Dewan Pers sudah berdiri sejak tahun 1966 melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers, tetapi pada saat itu Dewan Pers berfungsi sebagai penasehat Pemerintah dan memiliki hubungan secara struktural dengan Departemen Penerangan.
Kemudian, pembentukan Dewan Pers juga dimaksudkan untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari HAM. Dewan Pers memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Sebagai lembaga independen, Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari Pemerintah pada jajaran anggotanya.
Seiring perjalanan sejarah, fungsi Dewan Pers juga berubah, yang dahulu sebagai penasehat Pemerintah sekarang telah menjadi pelindung kemerdekaan pers. Tidak ada lagi hubungan secara struktural dengan Pemerintah. Dihapuskannya Departemen Penerangan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid menjadi bukti. Dalam keanggotaan, tidak ada lagi wakil dari Pemerintah dalam Dewan Pers. Tidak ada pula campur tangan Pemerintah dalam institusi dan keanggotaan , meskipun harus keanggotaan harus ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Untuk Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers, dipilih melalui mekanisme rapat pleno (diputuskan oleh anggota) dan tidak dicantumkan dalam Keputusan Presiden.
Pemilihan anggota Dewan Pers independen awalnya diatur oleh Dewan Pers lama. Atang Ruswati menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja Dewan Pers, sebuah badan bentukan Dewan Pers sebelum dilakukannya pemilihan anggota. Badan Pekerja Dewan Pers kemudian melakukan pertemuan dengan berbagai macam organisasi pers juga perusahaan media. Pertemuan tersebut mencapai sebuah kesepakatan bahwa setiap organisasi wartawan akan memilih dan juga mencalonkan dua orang dari unsur wartawan serta dua dari masyarakat. Setiap perusahaan media juga berhak untuk memilih serta mencalonkan dua orang yang berasal dari unsur pimpinan perusahaan media juga dua dari unsur masyarakat. Ketua Dewan Pers independen yang pertama kali adalah Atmakusumah Astraatmadja.
Wartawan profesional selalu menggunakan cara-cara etis dalam mencari informasi dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. "Minta duit" merupakan pelanggaran terhadap kode etik dan salah satu ciri wartawan tidak profesional.
Prinsip Kerja Kewartawanan: Pedoman Dewan Pers
1. Wartawan dalam menjalankan pekerjaan jurnalistiknya selalu berdasar pada prinsip-prinsip etika. Wartawan Indonesia telah memiliki Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang menjadi acuan bagi seluruh wartawan di Indonesia.
2. Wartawan tidak boleh menggunakan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, serta tidak meminta imbalan dalam mencari informasi.
3. Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers bahu-membahu bersama masyarakat untuk memerangi praktek penyalahgunaan profesi wartawan, dengan malaporkan aktivitas-aktivitas tidak profesional –yang mengatasnamakan sebagai wartawan– kepada kepolisian.
4. Kepada anggota masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah diharapkan agar cermat dalam mengidentifikasi wartawan/media serta tidak segan-segan menanyakan identitas wartawan dan mengecek kebenaran serta status media tempatnya bekerja. Wartawan profesional selalu menggunakan cara-cara etis dalam mencari informasi.
5. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (uang amplop) kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.
Kode Etik Wartawan Indoensia (KEWI) dengan jelas menyatakan, wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Menurut Dewan Pers, dengan tidak memberikan "uang amplop", berarti masyarakat turut membantu upaya penegakkan etika wartawan, serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.[ysh]