JAMBI.WAHANANEWS.CO,JAMBI - Seorang pemimpin yang hebat tidak menciptakan pengikut, ia menciptakan pemimpin yang lebih hebat — Tom Peters. Kutipan tersebut menjadi pengingat bahwa gaya komunikasi seorang pemimpin tidak selalu harus tentang keselarasan dan kesepakatan. Terkadang, ia justru harus memantik diskusi, bahkan perdebatan, untuk membangkitkan inisiatif dan tanggung jawab kolektif.
Kritik terhadap gaya komunikasi Bupati Pati, Jawa Tengah yang dianggap arogan, menantang, dan kurang berempati mencuat dalam sebuah artikel yang menganalisis beberapa rekaman video pidato bupati. Meskipun kritik ini mencerminkan persepsi sebagian masyarakat, analisis tersebut tampaknya belum sepenuhnya mempertimbangkan konteks, intensi, dan dampak dari gaya komunikasi itu sendiri. Dalam opini ini, saya hendak menyanggah pandangan tersebut dengan menawarkan perspektif yang lebih seimbang, sembari tetap mengakui ruang perbaikan dalam komunikasi publik seorang pemimpin.
Baca Juga:
Soal Kenaikan PBB Mendagri Ungkap Tegur Langsung Bupati Pati
Sering kali kritik gaya komunikasi bermula dari potongan video tanpa kontekstualisasi. Padahal pidato atau pernyataan yang tampak “menantang” bisa jadi sarat strategi, misalnya untuk menegaskan komitmen terhadap kebijakan sulit atau meredam ketegangan publik. Tanpa pemahaman situasi yang melatarbelakangi, penilaian terhadap gaya bicara seorang bupati menjadi tidak adil. Studi terkait menunjukkan bahwa pendekatan komunikasi transformasional—yang menginspirasi dan memotivasi melalui kejelasan visi dan kharisma—lebih efektif membentuk pemahaman dan produktivitas dalam organisasi publik (Aulia, Marsidin, & Sulastri, 2023).
Membedakan antara niat dan persepsi publik juga penting. Kritik yang menyebut gaya bicara bupati sebagai arogan atau kurang berempati tampaknya lebih berfokus pada persepsi ketimbang intensi di balik komunikasi tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa gaya komunikasi seorang pemimpin sangat dipengaruhi oleh karakter dan strategi kepemimpinan. Ada pemimpin yang memilih pendekatan lembut dan merangkul, sementara yang lain mungkin memilih gaya lugas dan langsung untuk menunjukkan ketegasan. Pendekatan lugas tidak otomatis menunjukkan kurangnya empati. Sebaliknya, pemimpin perlu fleksibilitas gaya—antara tegas dan empatik—tergantung konteks dan tujuan bersama. Hal ini sejalan dengan penelitian tentang kepemimpinan kolaboratif yang menekankan keterampilan komunikasi, negosiasi, dan pengambilan keputusan berbasis data sebagai faktor pembentuk lingkungan kerja yang kondusif (Putri Setiawati, 2023).
Analisis berbasis persepsi atas potongan video yang bersifat kualitatif memiliki keterbatasan. Standar akademik menuntut data lebih empirik, seperti survei persepsi publik atau analisis menyeluruh terhadap semua penampilan publik. Selain itu, sejumlah literatur mengenai kepemimpinan partisipatif menunjukkan bahwa gaya komunikasi inklusif memperkuat keterlibatan masyarakat, transparansi, dan efektivitas—nilai-nilai yang ideal untuk ditelusuri lebih lanjut dalam kasus ini (Lawolo, Mendrofa, Telaumbanu, & Lase, 2024). Dengan kata lain, menilai gaya komunikasi secara adil perlu bukti yang lebih komprehensif, bukan sekadar interpretasi subjektif.
Baca Juga:
Polisi Tak Temukan Korban Tewas Terkait Aksi Demo di Pati
Lebih jauh, gaya komunikasi seorang pemimpin tidak dapat dipisahkan dari substansi kebijakan yang diperjuangkan. Jika bupati menggunakan nada tegas untuk menekankan pentingnya suatu kebijakan, misalnya pembangunan infrastruktur atau penanganan masalah sosial, hal tersebut merupakan bagian dari strategi komunikasi, bukan semata ekspresi arogansi. Dalam konteks krisis seperti pandemi COVID-19, penelitian menunjukkan bahwa pemimpin daerah yang mengambil keputusan tegas dengan komunikasi berorientasi nilai kemanusiaan justru berhasil meningkatkan daya tahan sistem sosial dan menggalang kepuasan berbagai pihak (Wibowo & Puspitasari, 2020). Gaya tegas yang muncul bukanlah sekadar dominasi, melainkan representasi tanggapan strategis terhadap urgensi.
Kritik dalam demokrasi memang penting untuk mendorong perbaikan, tetapi diskusi publik akan lebih konstruktif jika didasarkan pada data, konteks, dan evaluasi dampak kebijakan. Komunikasi yang keras atau lugas bisa ditafsirkan sebagai arogansi, namun jika disertai komitmen substansi dan hasil nyata seperti peningkatan layanan publik, pembangunan infrastruktur, atau penguatan respon warga, maka kritik tersebut menjadi kurang adil. Pemimpin yang berkomunikasi tegas tidak berarti tidak berempati; bisa jadi hal itu strategi untuk menjaga stabilitas dan menghindari ambiguitas.
Kesimpulannya, evaluasi komunikasi publik harus memperhitungkan konteks penuh, bukan sekadar potongan video. Intensi komunikasi, antara tegas dan empatik, sebaiknya dipahami sebagai bagian dari strategi kepemimpinan yang lebih luas. Analisis komunikatif yang adil memerlukan data survei, penilaian menyeluruh, dan penekanan pada substansi kebijakan. Efektivitas kepemimpinan jauh lebih ditentukan oleh integrasi gaya bicara dan hasil nyata, bukan hanya klaim persepsi. Untuk itu, masyarakat perlu mendorong diskusi yang lebih seimbang dengan mengedepankan data, konteks, dan substansi, agar kritik terhadap seorang pemimpin benar-benar berfungsi sebagai alat perbaikan, bukan sekadar penilaian sepihak.