JAMBI.WAHANANEWS.CO, JAMBI - Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali muncul sebagai opsi atas kekacauan akibat ketidakpuasan publik. Demonstrasi demi demonstrasi digelar sebagai alat tuntutan agar tunjangan besar para legislator dipangkas, bahkan tak jarang terucap desakan radikal yang sontak menyuarakan ”segera bubarkan DPR jika hanya menjadi beban rakyat” tanpa dipahami lebih lanjut bagaimana langkah berikutnya ketika memang itu benar akan terjadi.
Namun, apakah gejolak massa telah mempertimbangkan bahwa dengan membubarkan DPR menjadi jalan keluar yang terbaik? Ataukah justru membuka pintu menuju krisis yang lebih dalam?
Baca Juga:
Analisis Ekonomi Politik: Tuntutan Tunjangan DPR dan Akar Masalah Sistem Politik Indonesia
Keterwakilan yang Krisis akan Representasi
Sejatinya, DPR adalah wajah daripada kalangan masyarakat dari segala lapisan dan latarbelakang. Tetapi dalam praktiknya, ia malah lebih sering dianggap condong mewakili kepentingan elit politik ketimbang aspirasi rakyat jelata. Absensi dalam sidang, legislasi yang tak kunjung berpihak pada kepentingan publik , serta tunjangan dan fasilitas mewah di tengah penderitaan rakyat tentu adalah menjadi sumber api kekecewaan.
Kekecewaan ini wajar, bahkan sehat dan lumrah terjadi. Karena dengan demikian, akan menunjukkan bahwa rakyat tidak hanya tinggal diam. Akan tetapi, pertanyaan pentingnya adalah, apakah dengan membubarkan DPR dapat menyelesaikan masalah, atau justru menimbulkan luka baru bagi demokrasi kita?
Baca Juga:
Disebut Hina Rakyat, Ahmad Sahroni Tegaskan Ucapan "Tolol" Salah Tafsir
Histori Parlemen Indonesia
Kita pernah mengalami pembubaran lembaga legislatif. Tahun 1959, Presiden Sukarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 melalui Dekrit Presiden. Parlemen diganti dengan DPR-GR (Gotong Royong) yang anggotanya bukanlah hasil pilihan rakyat, melainkan dengan penunjukan Presiden. Sejak itu, Indonesia memasuki era demokrasi terpimpin, yaitu sebuah masa dimana kekuasaan eksekutif begitu dominan, sementara peran rakyat dalam politik formal semakin menyempit.
Hasilnya? Demokrasi melemah, suara rakyat teredam dan negara meluncur ke arah konsentrasi kekuasaan yang sulit dikontrol.