JAMBI.WAHANANEWS.CO, JAMBI - Narasi pihak-pihak yang mengklaim pro alam namun mendorong investasi ekstraktif tambang di Jambi terasa ambigu jika dicermati. Dikatakan ambigu, karena narasi yang dibangun terasa terlalu dipaksakan dan mengabaikan kekhawatiran mendasar yang justru memicu polemik itu sendiri, yaitu, kerusakan lingkungan, pelanggaran tata ruang, sumber air, kesehatan dan hilangnya lahan pertanian.
Pernyataan bahwa "saatnya mendorong investasi" terdengar seperti desakan untuk segera membuka keran tanpa pengawasan ketat. Padahal, kekhawatiran publik terhadap PT SAS bukanlah karena mereka anti-investasi, melainkan karena pengalaman pahit di masa lalu. Kasus-kasus kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab seringkali menimbulkan dampak jangka panjang: pencemaran air, deforestasi, hingga konflik sosial dengan masyarakat adat atau petani lokal.
Baca Juga:
Volodymyr Zelenskyy Kritik Witkoff, Sebut Pernyataannya Sebarkan Narasi Rusia
Ambil contoh kasus nyata di Jambi. Konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang sering terjadi, seperti yang dilaporkan oleh berbagai media dan lembaga swadaya masyarakat. Misalnya, kasus pencemaran Sungai Batanghari yang sering dikaitkan dengan aktivitas pertambangan, termasuk batu bara. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi atau laporan investigasi dari lembaga seperti Walhi Jambi kerap menunjukkan adanya indikasi pelanggaran baku mutu air akibat limbah tambang. Ini bukanlah sekadar asumsi, melainkan masalah faktual yang berulang.
Narasi yang menyebutkan bahwa Jambi harus dikenal sebagai daerah yang "terbuka terhadap investasi, tapi tetap berkomitmen menjaga lingkungan" terdengar indah di atas kertas. Namun, realitasnya seringkali berbeda. Komitmen menjaga lingkungan harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata dan jaminan hukum yang kuat, bukan sekadar janji-janji lisan. Pertanyaannya, apakah ada jaminan yang memadai bahwa perusahaan pertambangan, termasuk PT SAS, akan benar-benar menjalankan operasi dengan standar lingkungan tertinggi? Apakah ada mekanisme pengawasan independen yang efektif dan tidak mudah diintervensi? Jika tidak, maka narasi "investasi cerdas dan bertanggung jawab" hanyalah slogan kosong.
Lebih lanjut, pernyataan bahwa "masyarakat Jambi tidak anti-investasi" bisa jadi menyesatkan. Masyarakat Jambi sejatinya menuntut akuntabilitas. Mereka menginginkan investasi yang benar-benar memberikan manfaat ekonomi, tanpa mengorbankan sumber daya alam yang menjadi penopang hidup mereka. Dorongan untuk investasi tidak boleh mengesampingkan kekhawatiran tentang Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT SAS yang sempat menjadi sorotan.
Baca Juga:
Pegi Setiawan Bebas, Pakar Sebut Perkara Belum Tuntas
Regulasi terkait TUKS dan jalan khusus batu bara diatur dalam peraturan daerah dan kementerian, seperti Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 134 Tahun 2016 tentang Pengoperasian Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri, serta Peraturan Daerah Provinsi Jambi No. 13 Tahun 2021 tentang Pengangkutan Batu Bara. Lebih jauh, tata kelola lingkungan dan pertambangan juga memiliki payung hukum dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik. Publik berhak tahu apakah operasional TUKS PT SAS sudah sepenuhnya mematuhi aturan-aturan ini.
Menyebut proses ini sebagai "model penyelesaian konflik serupa di masa depan" adalah prematur. Sebuah model penyelesaian konflik yang ideal tidak hanya berfokus pada meredakan ketegangan, tetapi juga memastikan keadilan dan keberlanjutan. Ini berarti adanya transparansi penuh dalam setiap proses negosiasi, keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan (terutama masyarakat yang terdampak langsung), dan penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengalaman internasional seperti prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) dapat dijadikan rujukan, terutama untuk memastikan partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pengambilan keputusan yang menyangkut wilayah mereka. Penerapan prinsip ini di sektor tambang akan memperkecil potensi konflik dan mendorong kepercayaan publik.
Jadi, alih-alih merayakan "meredanya polemik," kita harus tetap waspada. Dorongan investasi memang penting untuk pertumbuhan ekonomi, namun investasi itu harus datang dengan syarat yang jelas dan jaminan yang kuat. Jambi tidak butuh investasi yang merusak, tetapi investasi yang benar-benar berkelanjutan, yang memberdayakan masyarakat, dan yang mematuhi hukum tanpa kompromi. Memadamkan polemik dengan dialog saja tidak cukup; kita perlu memastikan bahwa janji-janji yang diucapkan benar-benar ditepati, demi masa depan Jambi yang lestari dan adil bagi semua.
(Penulis merupakan Pemerhati Kebijakan Publik)
[Redaktur : Ados Sianturi]