Jambi.Wahananews.co | Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHSC) perwakilan Jambi adakan dialog interaktif dengan tema “UUCK dan Implementasi 20 persen Perkebunan Rakyat”,Kamis (30/06/2022).
Berlangsung di Kantor IHCS Jambi dari pukul 15:00 WIB, IHCS Perwakilan Jambi bersama Walhi Jambi, KPA Wilayah Jambi , Fortasbi, hadir juga GMNI Jambi, GMKI Jambi, KAMMI Jambi dan beberapa NGO, serta mengundang Kadisbun Jambi sebagai pemateri
Baca Juga:
Eksekusi Lahan di Makassar Berujung Bentrok, Massa Lempari Polisi dengan Batu
Dengan tema” UUCK dan Implementasi minimal 20% dari Perusahaan Perkebunan” , IHCS Pusat ikut hadir memberikan pandangan dalam konteks UUCK yang masih dalam masa “Repair” secara formil 2 tahun.
Kewajiban Yuridis Perusahaan menyediakan minmial 20% dari total HGU dinilai penting menjadi pembahasan seiring dengan meningkatnya konflik agraria terkhusus di Jambi. Untuk melindungi dan memastikan terpenuhi hak-hak rakyat terhadap akses tanah Pemerintah Pusat sudah menyiapkan perangkat hukum yang sesuai dgn prinsip kosntitusionalitas, HAM bahkan yang teranyar pemerintah sudah siapkan Inpres No 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kebun Sawit Berkelanjutan ( RAN-KSB).
Perusahaan perkebunan diharapkan harus mempersiapkan perpanjangan izin semenjak lima tahun sebelum masa izinnya habis, dan minimal 2 tahun sebelum masa izin jika HGU Perusahaan perkebunan tidak diperpanjang maka seluruh obyek izin menjadi obyek Hak Menguasai Negara (HMN) sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Baca Juga:
Dua Bendungan di Deli Serdang Belum Berfungsi Maksimal
Selanjutnya sebagai obyek redistribusi TORA negara mengatur perencanaan dan pelaksanaan reforma agaria. Pemerintah pusat kemudian menentukan penataan aset hingga legalisasi TORA.
Perencanaan Reforma Agraria ini menjadi acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga dan rencana pembangunan daerah.
Dalam hal ini pemerintah sudah menyiapkan struktur GTRA dari tingkat nasional. Keberatan atau ketidakmampuan perusahaan perkebunan untuk mencadangkan dan membangun pekebunan rakyat minimal 20% bisa dimaklumi.
Perusahaan perkebunan bisa menyerahkan minmal 20% ini pada GTRA, lebih lanjut GTRA bisa mengambi alih obyek kewajiban ini sebagai TORA kemudian menyusun rencana kerja TORA.
Azhari selaku IHCS Perwakilan Jambi menilai Kemauan politik pemerintah pada prinsipnya sudah sangat maju dan ini bisa dilihat dari lahirnya Perprses Reforma Agraria , Perppres tentang keberlanjutan (SDGS ) , Inpres tentang Renacana Aksi Perkebunan sawit berkelanjutan, ini komitmen terhadap UUPA dan UU no 39 tahun 2014,hanya saja ini masih sebatas niatan belaka, untuk itu perlu kolaborasi civil ;NGO, rakyat dan pemerintah, karena mengingat kuatnya kooptasi perusahaan dan mafia teselubung.
“Kami memandang secara prinsip norma hukum yang telah dibuat sudah memenuhi asas-asas hukum utamanya asas menguasai oleh negara, artinya negara tidak boleh ditundukkan oleh korporasi, negara berdiri tegak lurus untuk kepastian hukum dan keadilan sosial”,terangnya.
“Jika tidak dipenuhi kewajiban minimal 20% oleh perusahaan maka segera tetapkan Sebagai Obyek Reforma Agraria oleh GTRA, atau perusahaan yang tak sanggup mengalokasikan lahan dan anggaran pembangunaan kebun rakyat dengan Sukarela serahkan pada GTRA, toh komposisi GTRA ini kan gemuk dan berotot, Insya Allah mereka mampu eksekusi “,tambahnya.
Kadisbun Provinsi Jambi, Agus Rizal menyampaikan bahwa Situasi pada 1983 masih banyak kawasan hutan bisa dikonversi, ijin perkebunan dari kawasan hutan bisa dikonversi saat mendapatkan HGU, di jambi ada enam perusahaan yang izinnnya dikeluarkan oleh Gubernur . PTPN VI, PT KDA, PT Kedaton, Agro Alam Sejahtera, PT Asian Agri, PT SAL keenam perusahaan ini telah memenuhi peryaratan 20 % dari HGU untuk rakyat.
“Dari 186 perusahaan yang memegang izin enam perusahaan sudah menyelesaikan kewajiban 20% sisanya 180 perusahaan perkebunan belum realisasi “,pungkasnya. [yg]