WahanaNews-Jambi | Perkembangan kasus perdagangan anak di Jambi, dengan terdakwa Sudin alias Koko, membingungkan sejumlah pihak.
Sebab, dalam persidangan, ada 3 anak perempuan yang dinyatakan sebagai korban perdagangan yang dilakukan bos tempat hiburan malam itu. Sedangkan sebelumnya, Polresta Jambi menyampaikan ada sekitar 30 anak yang menjadi korban.
Baca Juga:
YLKI Dukung Cukai Tinggi Minuman Berpemanis untuk Kurangi Konsumsi Anak
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Jambi, Amsyarneddy mengaku bingung dengan perkembangan kasus ini. Padahal, ada indikasi korban perdagangan Sudin berjumlah 60 orang.
"Awalnya korban itu 30 orang. Bahkan terindikasi sampai 60 orang," tuturnya, Minggu (22/05/2022).
Ia meminta kejakasaan mengusut kasus ini sampai tuntas. Seharusnya dapat terbongkar, karena pelaku mucikari sudah ditangkap.
Baca Juga:
Ingin Menjadi Kebanggaan Orang Tua: Kisah Mustofa yang Sembuh dari Katarak
"Jadi, jaksa harus bisa mengungkap, soalnya korban kasus itu banyak. Seharusnya, mereka lebih teliti. Sedangkan mucikarinya itu-itu saja. Kita harapkan jaksa dapat membongkar itu. Kasus ini kita pantau terus," ujarnya.
Sementara itu, Kepala UPTD PPA Kota Jambi, Rosa Rosilawati mengatakan pihaknya mendapatkan data dari kepolisian bahwa korban perdagangan ini berjumlah 30 anak perempuan.
"Saya juga bingung. Dari Polresta itu menyampaikan 30 orang korban. Lalu, kami mencari data 30 orang ini," tuturnya.
UPTD PPA Kota Jambi sudah menemui sekitar 15 orang anak yang menjadi korban perdagangan Sudin. Di antaranya, hanya 1 orang yang berusia dewasa. Selebihnya, masih remaja.
Para anak tersebut mendapatkan pendampingan dari psikolog. Sekolah mereka juga dibantu oleh UPTD PPA Kota Jambi.
"Untuk anak yang bermasalah di sekolah lama, diurus untuk pindah baru. Malah sampai saat ini masih ada anak yg diurus untuk sekolah paket. UPTD PPA meminta bantuan ke Baznas Kota Jambi untuk membantu membayar tunggakan sekolah anak ini," ujar Rosa.
Menurut Rosa perhatian dari KPAI, dan Dirjen Kemendikbud mereka bertemu dengan salah satu korban di luar 3 orang korban itu (yang disebutkan dalam persidangan). Begitu juga dinas sosial, dan Balai Alyatama, yang mendata korban.
Sebagian korban, kata Rosa beberapa waktu lalu, keluarganya tergolong broken home. Ia menduga sang anak bisa menjadi korban, juga karena pengaruh media sosial, dan pembelajaran daring yang membuat mereka memiliki banyak waktu luang.
Para anak itu diimingi mendapatkan uang yang banyak. Karena pemikirannya belum matang, mereka kena rayuan untuk dibawa ke Jakarta dan bertemu pengusaha tempat hiburan malam itu.
"Diimingi mendapatkan uang besar. Ya namanya anak, belum berpikiran matang. Ada juga yang dikenalkan di sana. Karena tidak punya ongkos terpaksa melakukannya," ungkap Rosa.