WahanaNews-Jambi | Kebijakan pemerintah melarang ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) membuat harga tandan buah segar (TBS) terjun bebas. Hal ini membuat petani memilih untuk membiarkan buah sawit busuk di pohon. Sebab, biaya operasional memanen sawit hanya akan menambah beban petani.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Jambi, Kasriwandi menyebut berdasarkan catatannya ada 30 persen petani yang memilih untuk membiarkan buahnya busuk di pohon dan tidak dipanen.
Baca Juga:
Harga TBS Kaltim Naik jadi Rp2.490,52 Per Kg
“Sejauh ini, belum satu bulan kebijakan larangan ekspor CPO diberlakukan ada sekitar 30 persen petani sawit di Jambi yang memilih tidak panen, itu ya karena harga nya anjlok, jadi bukannya untung malah rugi, jadi petani lebih memilih buah sawit mereka busuk di batang ketimbang panen,” katanya kepada detikSumut, Rabu (18/5/2022).
Menurut Kaswandi, berdasarkan data Dinas Perkebunan Jambi, harga TBS saat ini sebesar Rp 2.808,97, harga tersebut anjlok terlalu tinggi. Kaswandi juga menyampaikan jika sebelum adanya larangan ekspor CPO oleh Presiden Joko Widodo, harga TBS mencapai Rp 4.085 sampai Rp 4.100 per kilogram.
Kata dia, tidak semua petani di Jambi bisa mendapatkan harga sawit Rp 2.808,94 per kilogram. Berdasarkan catatannya hanya 6 persen petani yang merasakan harga tersebut. Sementara 94 persen petani sawit di Jambi banyak yang merasakan Rp 1.500 serta adanya Rp 1.200 per kilogram.
Baca Juga:
Harga TBS Kaltim Naik jadi Rp2.469,23/kg
“Hanya 6 persen petani mendapatkan harga TBS Rp 2.808,94. Nah 94 persen ini ada yang harganya yang ditetapkan sepihak dari perusahan. Seperti ada yang perusahaan cuman beli Rp 1.500 per kilogram. Ada juga yang Rp 1.200, bagaimana ngak hancur petani sawit dibuatnya, ini bukan mensejahterahkan malah menyengsarakan,” ujar Kasriwandi.
Harga sepihak yang ditetapkan pihak perusahaan itu disebut Kasriwandi lantaran berbagai alasan. Alasan utama itu tentu karena adanya larangan ekspor CPO kemudian tangki di perusahaan penuh.
Kasriwandi juga menyebutkan, bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo melarang ekspor CPO itu tidak berdampak buat menekan harga minyak goreng melainkan malah menghancurkan para petani sawit.
Apalagi, sejak diberlakukannya larangan ekspor CPO itu sampai kini harga minyak goreng masih dalam kondisi yang sama dan tidak ada penurunan. Kebijakan Presiden Jokowi ini juga dinilai Kasriwandi menyengsarakan para petani sawit yang ada di RI.
“Ingat ya, Indonesia ini adalah produsen minyak sawit nomor satu di dunia, Indonesia ini juga merupakan negara penghasil CPO terbanyak di dunia. Produksi sawit Indonesia ini mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun dan ini membuat CPO jadi penyumbang devisa ekspor terbesar bagi Indonesia. Kini malah ekspor CPO dilarang, ini yang jadi pertanyaan bagi kita, apa mungkin Presiden tidak tahu dengan persoalan ini,” terang Kaswandi.
Kaswandi juga menyebutkan dengan anjloknya harga TBS tidak sebanding dengan harga pupuk. Saat ini harga pupuk malah lebih tinggi dari biasanya.
“Sekarang ini kalau petani sawit panen sebanyak 2 Ton dapat Rp 1,5 juta rupiah dan itu sama dengan harga dua karung pupuk. Sedangkan dua karung pupuk itu dapat sekitar 100 batang sawit, jadi tidak sampai 1 hektar dapat seluruh sawit yang terpupuk. Ini kan jadi panen cuman untuk beli pupuk saja, untungnya dapat di mana. Itu ibaratkan 300 persen naik harga pupuk, 300 persen harga TBS turun, jadi mana dapat duit petani kalau kayak ini,” ucap Kaswandi.
Dengan anjloknya harga sawit ini lantaran larangan ekspor CPO, sejumlah petani sawit di Jambi lakukan aksi demo. Demo itu digelar pada Selasa (17/5) lalu baik di Kabupaten Batanghari, dan Kabupaten Merangin Jambi. Tidak hanya itu sebagian petani sawit di Jambi juga menuju istana Presiden untuk lakukan aksi demo yang sama. Demo itu sebagai bentuk agar kebijakan larangan ekspor CPO itu dihilangkan agar dapat mensejahterahkan para petani sawit. [yg]