WahanaNews-Jambi | Ratusan siswa dan orangtua berunjuk rasa ke kantor Gubernur untuk menuntut agar tetap bisa sekolah di sekolah negeri.
Dengan adanya proses seleksi masuk sekolah di yang diduga korupsi, sedikitnya 120 siswa kini terkatung-katung tidak bisa sekolah karena tidak terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik).
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
Unjuk rasa kedua kalinya ini dilakukan karena pemerintah belum memberikan solusi konkret terhadap ratusan siswa tersebut.
"Kami kecewa. 120 anak telantar tak bisa sekolah. Mereka menjadi korban ketidakbecusan gubernur ngurusin rakyat," kata Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Amir Akbar saat demo di depan kantor, Senin (3/1/2022).
Ia juga mengungkapkan solusi yang diberikan pemerintah terhadap 120 anak SMA yang pindah ke sekolah swasta karena sangat memberatkan orangtua murid.
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
Pasalnya, anak-anak hanya ingin bersekolah di negeri agar biaya yang dikeluarkan orangtua tidak bengkak.
"Kalau sekolah swasta, anak-anak itu akan bayar SPP, uang ini, uang itu. Mereka orang miskin," kata Amir lagi.
Hak 120 anak ini, kata Amir, sama dengan anak-anak lainnya di SMA 8 Kota Jambi. Pasalnya, saat masuk ke sekolah, mereka telah membayar uang Rp 3 juta-Rp 4 juta kepada kepala sekolah.
Bedanya, karena kesalahan pihak sekolah, ratusan anak ini tidak terdaftar di dapodik. Lalu, dengan kekuasaannya, pemerintah melarang anak-anak itu untuk sekolah.
Kata wali murid dan siswa
Hal senada dikatakan Walimurid, Erlan (48). Ia mengatakan, anaknya berhak untuk mengenyam
pendidikan di SMAN 8 Kota Jambi.
Dirinya berharap pemerintah tidak menyingkirkan anaknya ke sekolah swasta karena tidak adanya kemampuan membayar uang sekolah.
"Kami kalau punya uang dari awal, kami akan sekolahkan anak kami ke swasta," katanya.
Pertimbangan sekolah negeri, kata Erlan, bukan hanya keterbatasan dana, melainkan lokasi sekolah juga sangat dekat dengan rumahnya.
Rumah Erlan hanya 800 meter dari sekolah, sehingga saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) anaknya sudah layak diterima.
Tetapi, nyatanya malah tidak, bahkan ada ratusan anak yang rumahnya puluhan kilometer dari sekolah diterima.
Lantaran tidak enak, pihak sekolah akhirnya mendata anak-anak yang rumahnya dekat sekolah tetapi tak diterima dalam PPDB untuk tetap masuk dengan kompensasi membayar Rp 3 juta-Rp 4 juta.
Sayangnya, meskipun sudah membayar, nama anak-anak itu tidak masuk dapodik. Dia berharap ada solusi dari pemerintah akan nasib anak-anak ini.
"Harapan tetap sekolah di SMA Negeri 8 Kota Jambi. Kalaupun disuruh ke swasta, pemerintah harus memberikan beasiswa penuh sampai lulus," kata Erlan.
Selain itu, Rita wali murid SMAN 8 Kota Jambi menceritakan, awalnya anaknya masuk sekolah
dengan jalur zona terdekat, tetapi tidak menuai hasil yang bagus.
"Jadi anak saya tidak masuk, sehingga ada inisiatif menemukan pihak sekolah serta mengajukan jalur prestasi dan hasil nilai anak kami semua dikumpulkan serta menunggu dihubungi pihak sekolah," katanya.
Kemudian, kata Rita, sudah lama tidak pernah dihubungi oleh pihak sekolah sehingga datang ke
SMAN 8 Kota Jambi.
"Ketika ditanya, pihak sekolah menyebut anak kami mau ke pesantren, bukan sekolah negeri. Jadi digantikan orang lain," kata Rita.
Alasan sepihak dari sekolah diprotes. Akhirnya ada pertemuan untuk membahas anak-anak yang dekat sekolah untuk dapat diterima.
"Sudah bayar juga, tapi tetap tidak dapat dapodik," sebut Rita.
Sementara itu, salah satu siswa SMA Negeri 8 Kota Jambi bernama Rey berharap permasalahan ini cepat selesai, sehingga ia dan teman-temannya dapat bersekolah lagi.
"Saya tidak masalah mau sekolah di negeri atau swasta. Tapi jangan sampai orangtua kami keluar uang lagi. Kemarin orangtua saya sudah keluar uang Rp 4 juta untuk masuk di SMAN 8 Kota Jambi," katanya.
Kemudian, kata Rey, dirinya berharap ada bantuan pemerintah berupa keringanan biaya atau beasiswa, apabila memang tidak bisa sekolah di sekolah negeri.
"Walaupun kami sekolah di swasta, kalau bisa biaya sekolahnya diringankan. Kami keluarga tidak mampu," tutupnya.
Sekda Provinsi Jambi angkat bicara
Sedangkan Sekretaris Daerah Provinsi Jambi Sudirman mengatakan, berdasarkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2021 untuk SMA Negeri 8 Kota Jambi itu sekitar 340 anak.
"Jadi sesuai dengan aturan yang ada dan sudah diatur oleh SK dan peraturan menteri pendidikan, sehingga sudah ditentukan untuk anak masuk ke sekolah SMAN 8 Kota Jambi," katanya.
Kemudian, kata Sudirman, dari peraturan Mendiknas tersebut, dirinya mengatakan, dibuatkan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2021.
Pemprov Jambi telah membuat regulasi turunan terkait daya tampung penerimaan peserta didik baru untuk SMA dan SMK Negeri untuk tahun ajaran 2021-2022.
Khusus SMA Negeri 8 Kota Jambi, untuk rombelnya 10, setiap rombel tidak boleh melebihi 34
anak.
"Totalnya 340 anak. Di luar itu tidak bisa lagi diterima," kata Sudirman. Menurutnya, kata Sekda, 120 siswa-siswi ini akan sangat sulit untuk memperoleh dapodik. Kalau anak-anak tidak memperoleh dapodik, status hukum mereka menjadi ilegal.
"Jika status siswa-siswi ini ilegal maka sangat tidak mungkin untuk mengeluarkan rapor dan ijazah nantinya," katanya.
Lebih lanjutnya, kata Sekda Provinsi Jambi, pemerintah sepakat untuk menyelamatkan anak-anak ini dengan cara dipindahkan ke sekolah swasta.
Peluang lebih besar ada di sekolah-sekolah swasta yang daya tampungnya belum penuh, sehingga mereka dengan mudah akan mendapatkan dapodik.
"Aturan harus ditegakkan dan tidak boleh dilanggar oleh pemerintah. Jadi bagi anak-anak yang namanya tidak tercatat di dapodik, dengan berat hati harus dipindahkan ke swasta," katanya.
Dengan adanya kasus ini, kata Sudirman, pemerintah telah memberhentikan Kepala Sekolah SMA Negeri 8 Kota Jambi. Untuk tahapan awal, kepala sekolah sudah diberhentikan oleh gubernur, sehingga tidak lagi
menjadi kepala sekolah.
Sayangnya, pemerintah belum memiliki solusi terhadap 120 anak itu. Menurut Sudirman, anakanak harus pindah ke swasta dengan biaya ditanggung orangtua siswa masing-masing.
Mereka tidak bisa diberikan beasiswa, kata Sudirman, lantaran untuk keadilan dan kemampuan keuangan daerah juga tidak bisa menanggung biaya sekolah 120 anak. Untuk diketahui, 120 anak itu masuk dalam kelas non-reguler kepala sekolah. Mereka hanya
diajarkan oleh guru honorer, mahasiswa magang, dan kepala sekolah sendiri selama hampir satu
semester.
Masalah baru muncul setelah dilakukan pemeriksaan, nama anak sekitar 120 tidak masuk dalam data dapodik, sehingga dianggap ilegal atau tidak terdaftar di SMA Negeri 8 Kota Jambi. [afs]