JAMBI.WAHANANEWS.CO, JAMBI – Setiap 17 Agustus bangsa ini merayakan puncak kedaulatan: hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun, kemerdekaan tidak serta-merta menghadirkan pemerintahan yang benar-benar “dari, oleh, dan untuk rakyat”. Jembatan yang mengubah kemerdekaan menjadi kedaulatan sehari-hari adalah demokrasi, dan pemilu merupakan jalan setapaknya. Karena itu, kualitas pemilu akan sangat menentukan seberapa nyata kemerdekaan hadir dalam kehidupan warga.
Di sinilah peran penyelenggara pemilu—KPU dan Bawaslu—menjadi krusial, bukan sekadar teknis administratif. KPU bertugas memastikan setiap tahapan berjalan terbuka dan dapat diaudit, mulai dari pendaftaran hingga rekapitulasi suara. Sementara itu, Bawaslu hadir untuk mengawasi, mencegah, dan menindak pelanggaran agar kompetisi berlangsung adil. Literatur tata kelola pemilu menegaskan: tanpa manajemen yang independen dan imparsial, legitimasi hasil pemilu mudah runtuh, kepercayaan publik melemah, dan demokrasi terancam jatuh ke jurang delegitimasi (Manik, Surbakti, Kusmanto, & Situmorang, 2025). International IDEA (2024) bahkan menekankan, independensi lembaga pemilu adalah prasyarat utama kompetisi yang jujur dan setara—bukan sekadar aksesori kelembagaan, melainkan fondasi kredibilitas hasil.
Baca Juga:
Paskibraka Kota Jambi Siap Kibarkan Merah Putih di HUT ke-80 RI
Pengalaman global beberapa tahun terakhir memberi peringatan yang jelas. Laporan V-Dem (2024; 2025) menunjukkan tren kemunduran demokrasi di berbagai negara, termasuk melemahnya standar pemilu yang bebas dan adil, menurunnya kualitas deliberasi publik, serta semakin tajamnya disinformasi. Pelajarannya sederhana: institusi pemilu yang kuat, transparan, dan independen adalah benteng pertama terhadap arus balik otoritarianisme (James, 2025).
Konteks Indonesia pasca-Pemilu 2024 mempertegas pentingnya hal tersebut. Berbagai kajian akademik menyoroti tantangan serius: intervensi kekuasaan terhadap arena kompetisi, polarisasi tajam, hingga kontroversi kebijakan yang memengaruhi fairness. Analisis Journal of Democracy (2024) bahkan menyebut kondisi ini sebagai sinyal bahaya bagi kualitas demokrasi—peringatan bahwa kedaulatan rakyat bisa tergerus, bukan oleh penjajah, melainkan oleh praktik politik yang mengakali aturan main. Pepinsky (2024) menambahkan, demokrasi Indonesia menghadapi ancaman serius akibat personalisasi kekuasaan. Dalam situasi inilah, profesionalisme KPU dan ketegasan Bawaslu menjadi filter institusional agar kemerdekaan tidak merosot menjadi sekadar prosedur kosong.
Tantangan lain datang dari medan informasi. Riset terbaru menunjukkan disinformasi dan serangan terkoordinasi di media sosial berpengaruh besar terhadap preferensi pemilih sekaligus memperburuk ketimpangan informasi (Frontiers in Political Science, 2025). Jika dibiarkan, kebebasan memilih bisa tereduksi menjadi sekadar hasil manipulasi. Karena itu, mandat pengawasan Bawaslu tidak cukup hanya pada logistik dan kampanye luring. Literatur mutakhir mendorong pengawasan meluas ke ekosistem digital—mulai dari transparansi belanja iklan politik, audit jaringan penyebar hoaks, hingga penerapan corrective protocols lintas platform. Temuan Politicae (2025) bahkan menegaskan pentingnya model pengawasan kolaboratif untuk menjawab tantangan ini.
Baca Juga:
5 Film Perjuangan Indonesia yang Wajib Ditonton untuk Bangkitkan Semangat Nasionalisme
Apa implikasi praktisnya? Pertama, memperkuat independensi kelembagaan. Kajian teoretis dan empiris terbaru menunjukkan bahwa desain kelembagaan—proses seleksi, otonomi anggaran, hingga kewenangan teknis—sangat menentukan kemampuan KPU dan Bawaslu menahan tekanan politik (Manik et al., 2025). Reformasi yang mengunci kemandirian anggaran, seleksi berbasis merit, serta kewenangan klarifikasi lintas instansi akan menjadi pagar institusional penting.
Kedua, memperluas mandat pengawasan Bawaslu secara kolaboratif. Studi kebijakan (Politicae, 2025) mengajukan model pengawasan yang menghubungkan Bawaslu–KPU–pemerintah daerah untuk memastikan sosialisasi pemilu, literasi pemilih, dan respons cepat atas pelanggaran. Pengawasan efektif, dengan demikian, bukan hanya soal deteksi dan sanksi, tetapi juga pencegahan berbasis edukasi publik.
Ketiga, memperkuat basis data dan keterlacakan proses. Upaya membangun Indonesian Election Archive (Nature Scientific Data, 2025) menjadi langkah penting menuju infrastruktur data pemilu yang terbuka, historis, dan dapat diverifikasi publik. Dengan itu, audit sosial bisa dilakukan lebih tajam, dan akuntabilitas penyelenggara semakin terjaga.