JAMBI.WAHANANEWS.CO - Di tengah hiruk-pikuk pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan teknologi digital, terdapat sisi lain yang memendam kepedihan atas perkembangan zaman yang kian pesatnya. Salah satu kasusnya adalah tragedi ribuan driver ojek online yang terus menapaki jalan terjal dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bekerja hingga belasan jam sehari pada kenyataannya tidak berbanding lurus antara perolehan yang didapat dengan banyaknya kucuran keringat yang dicurahkan. Maka tidak mengejutkan lagi apabila pada waktu belakangan ini, para driver ojek online menuntut pembagian tarif yang lebih adil dan ber-perikemanusiaan.
Lebih dari sekedar soal regulasi pemerintah yang menetapkan batas maksimal potongan komisi sebesar 20% dan bahkan terdapat beberapa aplikator yang diduga mengambil hingga 70% dari tarif perjalanan, status hukum para driver juga melayang di ruang abu-abu. Para driver lebih ringan mereka sebut adalah sebatas ”mitra” bukan pekerja dan seakan ingin menegaskan bahwa hak-hak dasar seperti jaminan sosial, perlindungan ketenagakerjaan, dan bahkan tunjangan hari raya bukan menjadi tanggungjawab pemilik aplikasi (aplikator). Padahal seyogianya, dalam undang-undang ketenagakerjaan telah mendeskripsikan pengabdian dan ketergantungan kerja yang mereka jalani seharusnya membuka jalan menuju pengakuan yang lebih formal serta kehadiran negara dalam memberikan perlindungan.
Baca Juga:
RUU Transportasi Online Butuh Waktu, Ketua Komisi V DPR: Tak Bisa Selesai Besok
Di sisi yang lebih mencekam, ancaman monopoli menghantui pertumbuhan digitalisasi. Maraknya isu akan mergernya dua raksasa ride-hailing, GoTo dan Grab, diperkirakan akan lebih mendominasi lebih dari 85% pasar transportasi daring Indonesia. Sebuah konsentrasi kekuatan yang bukan hanya persaingan usaha, tetapi juga kan berdampak pada posisi tawar para driver yang kian surut. Dikepung oleh satu pintu sistem, diatur naik turunnya algoritma dan tidak menutup kemungkinan kelak akan ditinggal tanpa alternatif. Kita patut menyadari kondisi ini bukan sebagai keresahan sektoral semata, lebih jauh adalah cermin dari ketimpangan struktural dalam wujud baru kapitalisme digital. Pada lembaran ini kita seolah kembali menyaksikan kelompok-kelompok marhaen yang dimaksud oleh Bung Karno, mereka yang dimelaratkan oleh sistem dan dengan gaya penindasan baru serta musuh yang tak lagi asing, melainkan perlawanan terhadap sistem yang dibangun sesama anak bangsa, saudara sebangsa yang tunduk pada logika kapital dan kekuasaan.
Marhaen sekali lagi adalah simbol dari rakyat kecil yang hidup dalam ketertindasan struktural, yang tidak memiliki alat produksi namun harus bekerja untuk melanjutkan hidup. Marhaen bukan lagi sekadar kisah seorang petani di Bandung, kini ia adalah representasi dari jutaan rakyat yang tertindas oleh sistem saat era kolonial maupun setelah kemerdekaan. Pada konteks ekonomi digital, tidak berat untuk kita menyimpulkan bahwa driver ojek online adalah marhaen masa kini. Mereka yang tidak punya kontrol atas alat produksi, kendati membawa kendaraan bermotor milik sendiri namun tetap tunduk pada sistem algoritma dan keputusan sepihak perusahaan aplikator. Ketika aplikasi sudah menjelma menjadi penentu arah, tarif dan bahkan nasib mereka maka inilah bentuk baru dari ketergantungan dan eksploitasi.
Penjajahan gaya baru (neo-kolonialisme) yang tengah menggerogoti bangsa ini tidak lagi sebatas pembicaraan angka dan dan pertumbuhan, keadilan dan pembebasan rakyat dari struktur yang menindas adalah perhatian yang lebih serius. Akan lebih berbahaya apabila pada kondisi seperti saat ini negara hanya duduk manis sebagai penonton dan menunggu persenan. Bukankah seharusnya negera melalui para pucuk pimpinan harus hadir secara aktif dalam mengatur platform digital secara adil, menjamin hak-hak pekerja digital, mencegah terbentuknya monopoli pasar dan mendorong akan tumbuhnya ekonomi rakyat berbasis teknologi.
Baca Juga:
Pemprov Sumut Siapkan Regulasi Ojol dan Sanksi Tegas bagi Aplikator yang Langgar Aturan
Dari sudut pandang Marhaenisme, perjuangan driver ojek online saat ini bukan se-sederhana soal tuntutan upah atau tunjangan, namun lebih mendasar lagi adalah perihal perjuangan kelas. Perjuangan kelas antara mereka yang bekerja dan mereka yang menghisap dari balik layar teknologi. Kehadiran negara jangan sampai bersikap netral pada persimpangan ini, sebab netralitas dalam konflik antara penindas dan tertindas adalah mutlak telah berpihak kepada penindas. Sekali lagi, digitalisasi tanpa keberpihakan tidak akan menumbuhkan kemajuan, melainkan penindasan versi baru yang lebih sunyi dan sistem kapitalisme yang bersembunyi tanpa bunyi.
”Di era digital sekalipun, tugas-tugas kita belum selesai selama marhaen tak kunjung merdeka seutuhnya”.
Penulis : Ludwig Syarif Sitohang | Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Jambi
Sumber : TanyaFakta.Co