JAMBI.WAHANANEWS.CO - Setiap kali sebuah pelantikan pejabat publik digelar di negeri ini, masyarakat menyaksikan sebuah prosesi yang begitu sakral. Dengan tangan kanan terangkat dan wajah penuh kesungguhan, seorang pejabat mengucapkan sumpah di hadapan Tuhan, rakyat, dan konstitusi. Sumpah itu bukan sekadar kata-kata; ia adalah kontrak moral tertinggi dalam tata kelola kekuasaan.
Di dalamnya terkandung janji integritas, komitmen pelayanan, dan pengabdian terhadap kepentingan umum. Namun, kenyataan sosial-politik dan ekonomi hari ini membuat kita terutama kami, mahasiswa yang masih memelihara idealisme patut mempertanyakan: Apakah sumpah jabatan di negeri ini masih memiliki makna? Ataukah ia telah terdegradasi menjadi sandiwara rutin dalam panggung politik yang busuk?
Baca Juga:
Praktisi Jurnalistik Bagikan Kiat Sukses di Era Digital kepada Mahasiswa UINSU
Ironi muncul ketika kita melihat bahwa negara tengah mengalami defisit anggaran, namun di saat yang sama, justru para pejabat yang telah bersumpah untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan malah sibuk menjarah anggaran publik.
Defisit bukan lagi hanya angka-angka dalam laporan fiskal; ia menjadi metafora dari kosongnya moralitas dan komitmen etis di ruang-ruang kekuasaan. Ketika anggaran negara mengalami kekurangan, para pejabat justru berlimpah dalam kelicikan. Ketika rakyat dipaksa berhemat, para elit justru berpesta pora dengan uang yang bukan miliknya.
Masyarakat di suguhkan dengan berita nyaris setiap pekan, operasi tangkap tangan terhadap pejabat tinggi: kepala daerah, menteri, bahkan pimpinan lembaga negara. Ironisnya, sebagian besar dari mereka baru saja mengucapkan sumpah jabatan sebelum tertangkap. Mereka berdiri gagah di podium, mengucap janji demi Tuhan, lalu beberapa waktu kemudian tertangkap karena suap, gratifikasi, atau pencucian uang. Tindakan ini mencerminkan betapa sumpah jabatan telah kehilangan bobot moralnya. Ia tak lagi dipahami sebagai janji suci, tetapi sebagai formalitas birokrasi yang harus dilalui demi mengakses kekuasaan.
Baca Juga:
Aksi Begal oleh Remaja di Kuta Terungkap, Polisi Tangkap Pelaku dalam Waktu Singkat
Dalam kondisi ini, masyarakat bukan hanya kecewa, tetapi mengalami demoralisasi. Kepercayaan publik terhadap pejabat negara berada pada titik nadir. Sumpah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru digunakan untuk mengelabui mereka. Jika sumpah tak lagi dihayati, jika hukum tak ditegakkan secara konsisten, maka rakyat pun secara perlahan mulai terbiasa untuk tidak percaya dan inilah bahaya terbesar: normalisasi ketidakpercayaan terhadap negara.
Sebagai mahasiswa, saya melihat ini sebagai tanda krisis yang jauh lebih dalam daripada sekadar korupsi. Ini adalah krisis moral, krisis integritas, dan krisis kepemimpinan. Pendidikan tinggi tidak serta-merta menghasilkan pejabat yang bermoral. Gelar akademik, pencitraan media, atau prestasi administratif bukan jaminan integritas.
Kita telah menyaksikan terlalu banyak pejabat bergelar doktor atau profesor yang akhirnya harus duduk di kursi pesakitan. Artinya, ada sesuatu yang fundamental yang salah dalam sistem kita bahwa etika tidak menjadi ruh dari kekuasaan, dan bahwa sumpah tidak memiliki konsekuensi sosial maupun spiritual yang nyata.