Lebih menyedihkan lagi, banyak dari mereka yang terjerat korupsi bukanlah orang yang tidak tahu hukum. Mereka adalah orang-orang cerdas, berpendidikan tinggi, dan memiliki akses terhadap informasi. Namun kecerdasan yang tidak dibarengi kejujuran hanya melahirkan kelicikan. Dan kelicikan yang dilegalkan oleh sistem hanya akan mempercepat keruntuhan negara.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, sumpah jabatan harus dikembalikan pada tempatnya sebagai pengikat moral, bukan sekadar formalitas. Kita perlu sistem pengawasan yang lebih ketat, partisipasi publik yang lebih aktif, dan penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Kedua, pendidikan karakter dan integritas harus menjadi bagian sentral dalam sistem pendidikan, termasuk di perguruan tinggi. Mahasiswa tidak boleh hanya diajarkan bagaimana menjadi pintar, tetapi juga bagaimana menjadi benar.
Baca Juga:
Praktisi Jurnalistik Bagikan Kiat Sukses di Era Digital kepada Mahasiswa UINSU
Ketiga, dan yang paling penting, generasi muda tidak boleh bungkam. Apatisme adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan. Mahasiswa harus tetap menjadi kekuatan moral dan kritis, bukan sekadar penghuni ruang kuliah yang pasif. Kita harus berani bersuara, turun ke jalan jika perlu, menulis, berbicara, dan menuntut pertanggungjawaban dari para pemimpin yang telah mengkhianati sumpahnya.
Negara ini tidak kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan keteladanan. Kita tidak krisis kecerdasan, tetapi krisis nurani. Jika sumpah jabatan terus menjadi sekadar sandiwara politik, maka jangan salahkan rakyat jika suatu hari mereka berhenti percaya. Dan ketika kepercayaan rakyat runtuh, maka legitimasi kekuasaan pun tinggal menunggu waktu untuk ikut roboh.
Penulis : Harry Mulia Sirait | Kader Lingkar Studi Mahasiswa Marhaenis