Keberhasilan mendorong investasi bukan hanya soal memiliki regulasi, tetapi juga soal menerjemahkannya dalam pelayanan sehari-hari. Teori pembangunan ekonomi mengajarkan bahwa investasi besar akan memicu keterkaitan ke belakang dan ke depan. Pabrik pengolahan karet, misalnya, akan menumbuhkan permintaan terhadap petani karet dan jasa transportasi di satu sisi, serta menciptakan pasar baru untuk barang jadi di sisi lain. Teori daya saing Porter juga menegaskan pentingnya membangun klaster industri yang saling mendukung antara pemasok, produsen, lembaga riset, dan pasar.
Selain itu, paradigma kepemilikan, lokasi, dan internalisasi dari Dunning mengajarkan bahwa Jambi harus mampu menonjolkan keunggulan lokasi yang dimilikinya. Keunggulan ini bisa berupa kedekatan dengan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja, kemudahan perizinan, dan akses logistik sungai maupun darat. Dengan begitu, modal yang datang akan menemukan alasan kuat untuk menetap dan beroperasi dalam jangka panjang.
Baca Juga:
DJPPR Gelar Sosialisasi Pembiayaan APBN dan Investasi SBN Ritel di Yogyakarta: Meningkatkan Literasi Keuangan
Mendorong investasi untuk Jambi juga berarti merancang langkah-langkah yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Kawasan industri yang bersih dari sengketa lahan, studi kelayakan yang matang, kepastian tata ruang yang ramah lingkungan, dan insentif daerah yang berbasis pada pencapaian nyata harus menjadi kebiasaan. Hilirisasi karet, sawit, dan kayu dapat dikembangkan seiring dengan penguatan koperasi dan UMKM lokal, sehingga keuntungan yang lahir tidak hanya dinikmati segelintir pihak.
Potensi pangan dan perikanan air tawar di Jambi juga membuka peluang besar. Dengan modernisasi rantai dingin, pengembangan pakan lokal, dan sistem ketelusuran yang baik, komoditas ini dapat menembus pasar yang lebih luas. Pariwisata budaya dan ekologi, seperti Danau Sipin dan kawasan wisata sungai, dapat dikemas dengan sentuhan industri kreatif agar menarik minat investor di sektor jasa dan hiburan. Energi terbarukan skala daerah, mulai dari tenaga air mikro hingga biomassa dari residu perkebunan, juga bisa menjadi daya tarik bagi pembiayaan hijau.
Namun semua peluang itu harus dijaga agar tidak mengorbankan masyarakat adat, lingkungan hidup, atau akses terhadap sumber daya dasar. Konsultasi bermakna dengan pemilik tanah ulayat, perlindungan terhadap keamanan pangan, air, dan energi lokal, serta keterlibatan perempuan dan kelompok rentan dalam proses pembangunan harus menjadi prinsip yang dipegang. Investasi yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa mempedulikan dampaknya akan meninggalkan kerusakan yang lebih besar dari manfaatnya.
Baca Juga:
Pemkab Simalungun Bentuk Satgas Lawan Premanisme dan Ormas Pengganggu Investasi
Mendorong investasi juga berarti menata pembiayaan dari berbagai sumber. Bank dan lembaga jasa keuangan kini memiliki panduan jelas melalui Taksonomi Keuangan Berkelanjutan untuk menyalurkan kredit ke proyek-proyek ramah lingkungan. Pasar modal menawarkan instrumen seperti obligasi hijau yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan daerah atau mitra swasta. Anggaran pendapatan dan belanja daerah dapat digunakan untuk menutup risiko awal proyek sehingga menarik modal swasta. Bahkan hibah filantropi dan skema kemitraan pemerintah–swasta dapat menjadi jalan untuk merealisasikan proyek infrastruktur penting.
Pelayanan publik yang baik adalah jantung dari upaya ini. Perizinan harus berubah dari sekadar simbol kekuasaan menjadi janji pelayanan yang cepat, jelas, dan pasti. Proses yang berbelit harus disederhanakan, teknologi informasi harus digunakan untuk membuat layanan lebih transparan, dan tenaga aparatur harus dibekali pengetahuan serta insentif yang mendorong mereka untuk melayani dengan integritas. Setelah izin diberikan, pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan, melainkan terus mendampingi agar investasi yang masuk benar-benar terealisasi dan memberi manfaat.
Keberhasilan tidak boleh diukur hanya dari besarnya komitmen investasi yang diumumkan di atas panggung. Indikator yang penting adalah realisasi lapangan, jumlah tenaga kerja lokal yang terserap, peningkatan upah rata-rata, nilai tambah yang dihasilkan di daerah, skor keberlanjutan proyek, dan kecepatan penyelesaian sengketa. Data-data ini harus dibuka kepada publik secara rutin agar masyarakat dapat mengawasi dan menilai.