Dalam tradisi Melayu Jambi, tutur kata yang santun selalu dikedepankan—“kami susun jari nan sepuluh, kami tundukkan kepala nan satu, kami hatur sembah nan sebuah; ampun kepada yang tuo, maaf kepado yang banyak”—bukan sekadar basa-basi, melainkan kode etika publik untuk menurunkan tensi dan menata dialog. Seloko semacam ini mengajarkan bahwa ruang protes pun perlu nilai: marwah, tertib, dan mufakat.
Di tengah ketidakmenentuan arah aksi (yang mudah ditarik menuju tindakan destruktif), beberapa seloko berikut relevan sebagai “rem sosial”:
“Duduk samo rendah, tegak samo tinggi.” Menekankan egalitas dalam musyawarah: tuntutan boleh keras, caranya tetap beradab.
"Berat samo dipikul, ringan samo dijinjing.” Solidaritas menolak kekerasan yang merugikan sesama warga dan pelaku usaha lokal (toko, UMKM)—kerusakan fasilitas umum akhirnya ditanggung bersama.
“Jangan telunjuk lurus, kelingking berkait; jangan menggunting kain dalam lipatan.” Mengingatkan orator, korlap, dan elite agar transparan—jangan memprovokasi dari belakang layar.
Baca Juga:
Sri Mulyani Optimis Sinergi Pemerintah-DPR Wujudkan APBN 2026 yang Kredibel dan Berkelanjutan
“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Aksi di Jambi harus menjunjung adat setempat: aspirasi sah, tapi cara menyampaikan wajib mengindahkan hukum dan nilai lokal.
“Tegak rumah karena sendi, tegak negeri karena budi.” Negeri yang kokoh bukan hanya oleh hukum positif, tetapi juga budi pekerti dalam berekspresi—termasuk saat marah.
Peran kunci pemimpin menurut adat
Kondusivitas bukan berarti menutup ruang kritik. Justru, ruang kritik diperkuat dengan adat sebagai pagar. Bila aksi terlanjur memanas, ingat seloko: “Keruh aek tengok ke hulu Senak aek tengok ke muaro.” Tujuan akhirnya satu: marwah terjaga, aspirasi tersampaikan, ekonomi tak terganggu. Dengan begitu, capaian investasi yang sudah diraih Jambi tidak luntur oleh kabut kekisruhan, dan minat investor tetap bertahan, bahkan tumbuh, karena mereka melihat Jambi mampu merajut perbedaan menjadi mufakat.
Baca Juga:
Presiden Prabowo dan Jajaran Menteri Gelar Rapat di Hambalang, Bahas Pertanian hingga Investasi Nasional
Seloko tersebut juga menegaskan pentingnya pemimpin turun langsung ke akar rumput untuk memahami sumber persoalan, bukan hanya menerima laporan dari bawahan. Tradisi ini selaras dengan praktik Pejabat Tidur di Dusun (Pertisun) untuk mengunjungi warga dan menyerap aspirasi masyarakat setempat.
Namun, kehadiran simbolik saja tidak cukup; diperlukan tindak lanjut berupa alokasi anggaran yang proporsional, agar problem yang ditemui di lapangan tidak sekadar menjadi catatan, tetapi memperoleh porsi nyata dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, seloko ini mengajarkan bahwa kepemimpinan yang sejati bukan hanya hadir secara fisik, tetapi juga mampu menyalurkan sumber daya fiskal ke titik-titik kebutuhan yang paling mendesak, sehingga keadilan pembangunan benar-benar terasa hingga lapisan bawah.
[Redaktur : Ados Sianturi]