“Tentu saja ini akan memacu minat investasi di ET (energi terbarukan), mengingat ada pembeli alternatif selain PLN,” kata Priyandaru.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga mengungkapkan hal senada. Skema power wheeling, khususnya untuk pembangkit energi terbarukan, diperlukan untuk menjawab kebutuhan dari konsumen industri dan komersial yang membutuhkan listrik dari sumber energi terbarukan.
Baca Juga:
Pemerintah Tegaskan Komitmen Transisi Energi Hijau, Hidrogen Jadi Fokus
“Selain itu renewable power wheeling bisa membuat pengusahaan pembangkitan energi terbarukan menjadi lebih menarik. Saya menilai ketentuan ini positif untuk mendorong perkembangan energi terbarukan di luar PLN,” imbuh Fabby.
Fabby menilai, dengan dimasukkannya skema power wheeling ke dalam produk hukum di tingkat undang-undang, pelaksanaan power wheeling bakal memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi daripada jika hanya diatur pada peraturan di tingkat menteri.
Skema power wheeling ini sendiri sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2021 tentang tentang Pelaksanaan Usaha Ketenagalistrikan.
Baca Juga:
Komisi III DPRD Riau Evaluasi Kinerja PT PIR Tahun 2024 dan 2025
Dalam pasar 45 beleid tersebut, dinyatakan pemegang IUPTLU terintegrasi, IUPTLU transmisi tenaga listrik, IUPTLU distribusi tenaga listrik; dan/atau IUPTLS dapat melakukan kerja sama antar pemegang izin usaha. Kerja sama yang dimaksud berupa pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik; dan/atau operasi paralel.
Dalam kerja sama ini, pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik dapat dilakukan untuk menyalurkan tenaga listrik dari pembangkitan sampai dengan titik beban. Hanya saja, menurut catatan API, ketentuan tersebut belum diimplementasikan lantaran belum memiliki petunjuk pelaksanaan.[zbr]