JAMBI.WAHANANEWS.CO, JAMBI - Demonstrasi massal di depan kantor DPR RI hingga meluas ke berbagai sudut Jakarta Senin (25 Agustus 2025) sebenarnya dipicu alasan sederhana: anggota DPR ingin mendapatkan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Massa menuntut pembatalan agenda tersebut, bahkan pembubaran lembaga DPR. Amarah massa semakin tersulut lantaran petinggi DPR yang meremehkan aspirasi pembubaran DPR.
Pertanyaan yang menyentak bukanlah apakah mungkin membubarkan lembaga DPR di alam demokrasi, melainkan mengapa anggota DPR minta tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Sudah banyak tulisan menggubris hitung-hitungan pendapatan seorang anggota DPR yang mencapai sekitar Rp230 juta per bulan. Tulisan ini tidak bermaksud menambah barisan kalkulasi matematis ini, tetapi berfokus ke alasan di balik tuntutan itu dari sudut ekonomi politik.
Baca Juga:
Membubarkan DPR : Jalan Reformasi atau Awal Otoritarianisme
Imbas Kebijakan Prabowo
Alasan tunjangan rumah anggota DPR Rp50 juta per bulan memicu amarah tak terkontrol warga adalah wacana yang mencuat ketika warga tengah tercekik secara ekonomi. Kebijakan Prabowo memicu naiknya harga barang sekaligus menyusutnya lapangan kerja.
Potret ini berbeda sekali dengan pidato retorik Prabowo pada sidang tahunan MPR RI Jumat 15 Agustus 2025 yang mengklaim tingkat pengangguran berkurang dan banyak lapangan kerja baru tercipta. Alih-alih efisiensi, justru berujung miskalkulasi kebijakan yang sentralistik, top-down, mengurangi daya beli pasar, meningkatkan pengangguran dan kenaikan biaya hidup (Amelia dkk, 2025).
Baca Juga:
Polisi Pulangkan Ratusan Anak yang Ditangkap Saat Demo di DPR
Efisiensi menuntut penggunaan sedikit sumber daya untuk hasil yang lebih besar. Yang terjadi pada kebijakan efisiensi Prabowo justru inefisiensi. Demonstrasi anarkistis Senin 25 Agustus 2025 seharusnya tidak hanya ditujukan kepada DPR, tetapi terutama terhadap pemerintahan Prabowo. Sayangnya, hanya DPR yang menjadi sasaran. Padahal tunjangan tersebut tidak dapat terkabulkan jika pemerintah menolak usulan DPR.
Tingginya Political Cost
Mengapa DPR gencar menuntut tunjangan rumah, padahal sudah memiliki pendapatan ratusan juta rupiah? Melompat langsung ke kesimpulan bahwa anggota DPR tamak mungkin benar, tetapi juga tendensius dan reduksionis. Moralisme cenderung memotret masalah dengan hanya dua kacamata: hitam atau putih. Padahal realitas tidak sesederhana itu, apalagi dunia politik doyan area abu-abu.