Permintaan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan sebenarnya hanya satu dari serangkaian tunjangan DPR yang tidak masuk akal. Namun, mengapa anggota DPR seolah merasa layak menuntut haknya. Aspirasi DPR sebenarnya dilandasi tingginya political cost untuk menjadi anggota dewan di Indonesia.
Untuk bertarung dalam Pemilu Legislatif (Pileg), seorang kandidat harus membayar mahal untuk mendapatkan nomor urut, membentuk tim sukses sendiri, tim saksi di TPS, dan menyiapkan miliaran rupiah untuk serangan fajar (Aspinall & Berenschot, 2019). Belum biaya tak terduga lain. Maka, tidak heran jika pasca kemenangan, yang dikejar para anggota DPR adalah balik modal, bukan memupuk amal perbuatan baik.
Baca Juga:
Membubarkan DPR : Jalan Reformasi atau Awal Otoritarianisme
Kondisi semacam ini memaksa anggota dewan untuk memandang politik tidak lebih dari transaksi di pasar. Tidak seorang pun ingin merugi di dalam bertransaksi. Pileg adalah investasi yang riskan, tetapi jalan ninja untuk menjadi kaya. Jika seorang caleg terpilih, ia memperoleh gaji dan tunjangan fantastis. Jaringan bisnis diproteksi dan diperluas. Suntikan dana dari oligarki pun mengalir untuk meminta proteksi kekuasaan politik atas ladang bisnis dan kekayaan mereka (Winters, 2014).
Menukik Lebih Dalam
Bermain politik uang bukan kehendak personal seorang caleg. Siapapun terpaksa ikut terjerumus ke dalam language games pertarungan politik ini agar tidak tereliminasi. Ada semacam prisoner's dilemma di sini: jika politisi A tidak menggunakan politik uang, dia akan mudah kalah dari politisi N yang menggunakan politik uang.
Baca Juga:
Polisi Pulangkan Ratusan Anak yang Ditangkap Saat Demo di DPR
Politik uang sebenarnya adalah perjudian lama di Indonesia, tetapi baru menjadi masif sejak fajar Reformasi menyingsing. Semasa Orde Baru, para oligarki dari tingkat pusat hingga lokal tidak tertarik masuk dunia politik karena sudah diproteksi Soeharto sebagai satu-satunya wealth defense provider (Winters, 2011).
Pasca rontoknya Soeharto, para pebisnis hanya memiliki dua pilihan: berpolitik atau kekayaan dan jaringan bisnis digulung penguasa politik. Dari sinilah para pebisnis ramai-ramai terjun ke dalam politik, berkolusi dengan elite di level lokal hingga nasional. Rent-seeking, pork barrel, and freewheeling clientelism membeludak (Aspinall & Sukmajati, 2016).
Orang bertarung di dalam arena politik di Republik ini juga karena domain politik menjadi satu-satunya primadona. Indonesia sangat paternalistik, mengatur semua hal: dari ruang privat seperti perkawinan hingga ruang publik. Yang paling keliru adalah intervensi negara terhadap pasar yang tidak lagi pada level mencegah market failure tetapi justru mengganggu. BUMN menguasai arena bisnis.