Fluktuasi ini mencerminkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi yang sangat bergantung pada harga migas global dan formula DBH dari pemerintah pusat yang belum transparan. Kondisi ini sejalan dengan latar belakang masalah defisit APBD Provinsi Jambi yang sudah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut, sebagaimana tercermin dalam data keuangan daerah.
Kerangka Hukum Pengelolaan APBD dan Dana Bagi Hasil di Provinsi Jambi
Pelaksanaan Dana Bagi Hasil (DBH) dan pengelolaan APBD Provinsi Jambi berada dalam koridor hukum yang ketat, berlandaskan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. Khusus DBH Migas, hak daerah penghasil diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, yang menetapkan alokasi lebih proporsional sesuai jenis penerimaan dan kebutuhan fiskal serta memperkuat desentralisasi fiskal. Penerimaan Provinsi Jambi sangat bergantung pada formula pembagian pemerintah pusat dan data lifting migas dari Kementerian ESDM, keterbatasan akses data ini dapat mempengaruhi perencanaan fiskal dan meningkatkan risiko defisit APBD.
Baca Juga:
Bukan Migas, Ini yang Diutamakan Wali Nanggroe Soal 4 Pulau Sengketa
Pengelolaan keuangan daerah juga mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sementara Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dan Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 memberikan panduan teknis mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban keuangan.
Selain DBH Migas, DBH Kelapa Sawit diatur oleh UU No. 1 Tahun 2022, dengan alokasi minimal 4% dari pungutan ekspor: 20% untuk provinsi, 60% kabupaten/kota penghasil, dan 20% kabupaten/kota berbatasan langsung (PP No. 38/2023). Formula alokasi umumnya memadukan 90% berdasarkan realisasi penerimaan dan kebutuhan fiskal serta 10% kinerja daerah (Seknas FITRA, 2024), mendorong pemerataan pembangunan dan penguatan kapasitas fiskal.
Seluruh kerangka hukum ini diperkuat di tingkat daerah melalui Perda APBD Provinsi Jambi dan Pergub Penjabaran APBD, yang mengatur perencanaan, penganggaran, pelaksanaan program, hingga evaluasi dan pengawasan. Dengan demikian, pengelolaan APBD, termasuk DBH Migas dan Kelapa Sawit, memiliki payung hukum lengkap, meski transparansi dan akurasi data lifting tetap menjadi tantangan utama.
Baca Juga:
PLN Komitmen Dukung Pemerintah Siapkan Talenta Energi Masa Depan
Preseden Nasional: Kasus Meranti dan Relevansinya bagi Jambi
Kondisi yang dihadapi Jambi sejatinya bukanlah fenomena tunggal. Pada Desember 2022, Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, menyuarakan protes keras kepada pemerintah pusat karena Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang diterima daerahnya tidak sebanding dengan peningkatan produksi minyak.
Meski volume lifting meningkat, jumlah DBH yang masuk tetap stagnan. Protes ini dibawa langsung ke Menteri Dalam Negeri dan menjadi sorotan media nasional, menandakan potensi ketegangan fiskal antara daerah penghasil dan pemerintah pusat akibat formula pembagian yang dinilai tidak adil.