JAMBI.WAHANANEWS.CO, JAMBI - Bagi sebagian orang, tambang adalah berkah. Ia menciptakan lapangan kerja, menambah pendapatan daerah, dan menggerakkan ekonomi. Tapi bagi sebagian lainnya—terutama yang hidup di sekitar wilayah tambang—yang tersisa justru kekhawatiran: lubang-lubang menganga, tanah yang mati, sungai yang keruh, dan udara yang tak lagi sehat.
Dan di tengah itu semua, ada satu istilah yang seharusnya menjadi kunci keseimbangan antara eksploitasi dan keberlanjutan: reklamasi. Sayangnya, di Jambi, reklamasi seringkali lebih sering terdengar dalam laporan daripada terlihat di lapangan.
Baca Juga:
Inilah 4 Perusahaan Tambang Nikel yang Tersingkir dari Raja Ampat
Kegiatan ini bukan opsional. Undang-undang sudah mengatur dengan tegas. UU No. 3 Tahun 2020 (revisi dari UU Minerba 2009), PP No. 78 Tahun 2010, dan sejumlah peraturan teknis lainnya seperti Permen ESDM No. 26 Tahun 2018 serta Permen LHK Tahun 2021 dengan jelas menyebutkan bahwa setiap perusahaan tambang wajib:
Menyusun rencana reklamasi,
• Menyediakan jaminan reklamasi sebelum beroperasi,
Baca Juga:
Terungkap, PT Gag Nikel Bisa Tambang di Raja Ampat karena Keppres Era Megawati
• Melaksanakan kegiatan reklamasi sesuai standar teknis,
• Melaporkan hasilnya secara berkala.
Reklamasi memiliki beberapa tujuan pokok antara lain : mengembalikan fungsi lahan ke kondisi semirip mungkin sebelum tambang beroperasi, atau ke fungsi baru yang aman dan produktif, mengurangi risiko bencana ekologis (longsor, pencemaran air, atau kebakaran lahan), menjamin keselamatan masyarakat (baik dari lubang tambang terbuka maupun limbah berbahaya) dan menunjang keberlanjutan ekonomi masyarakat pascatambang (termasuk mendukung pertanian, perkebunan, atau bahkan pengembangan ekowisata).