Reklamasi tambang tidak cukup dengan menanam pohon seadanya. Ini adalah proses panjang yang mencakup: penataan lahan (land forming), penutupan lubang tambang, penanganan limbah berbahaya, revegetasi (penanaman kembali) dan pemantauan pascareklamasi.
"Nilai jaminan reklamasi tidaklah kecil—mencapai Rp150 hingga Rp200 juta per hektare. Angka ini seharusnya cukup untuk memastikan lahan yang rusak akibat tambang bisa dipulihkan. Tapi anehnya, meski dananya signifikan, reklamasi justru kerap menjadi pekerjaan rumah yang dibiarkan terbengkalai. Di banyak wilayah tambang, termasuk di Jambi, lahan pascatambang tetap menganga tak tersentuh. Lalu muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari: ke mana sebenarnya dana reklamasi itu mengalir? Siapa yang mengawasi penggunaannya?
Baca Juga:
Inilah 4 Perusahaan Tambang Nikel yang Tersingkir dari Raja Ampat
Potret Reklamasi di Jambi: Banyak Izin, Sedikit Tanggung Jawab
Jambi memiliki hampir 300 izin tambang aktif. Tapi menurut data Dinas ESDM setempat, hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki dokumen AMDAL lengkap dan menjalankan kewajiban pascatambang secara benar. Yang lebih memprihatinkan, banyak perusahaan yang telah berhenti operasi sejak beberapa tahun lalu, tapi meninggalkan lubang bekas tambang tanpa rehabilitasi.
Di wilayah seperti Batanghari, Sarolangun, Tebo dan Muaro Jambi, masyarakat bisa menunjukkan langsung bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja. Lahan yang dulunya produktif kini tak bisa lagi ditanami. Beberapa warga bahkan mengeluhkan pencemaran air dan meningkatnya penyakit kulit. Mereka tidak meminta banyak, hanya ingin lingkungan mereka dikembalikan seperti semula.
Baca Juga:
Terungkap, PT Gag Nikel Bisa Tambang di Raja Ampat karena Keppres Era Megawati
Salah satu contoh paling mencolok adalah kondisi eks tambang di Koto Boyo (Batanghari).
Meskipun dana reklamasi tersedia, lahan dibiarkan menganga tanpa pemulihan, bahkan disebut oleh Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan, sebagai "kejahatan lingkungan yang disengaja" dan menuntut audit serta pengusutan lebih lanjut oleh lembaga seperti KPK.
DPR RI Turun Gunung, Tapi Akankah Ada Tindak Lanjut