Kritik terhadap buruknya reklamasi ini tak hanya datang dari warga. Dalam kunjungan kerja ke Jambi beberapa waktu lalu, sejumlah anggota Komisi XII DPR RI secara terbuka menyampaikan keprihatinan. Salah satunya adalah Syarif Fasha, yang mendesak perusahaan-perusahaan tambang di Jambi agar transparan soal reklamasi dan pelaporan lingkungan.
Rocky Candra, anggota DPR lainnya, mengingatkan bahwa reklamasi bukan hanya kewajiban teknis, tapi tanggung jawab sosial. Sementara itu, Cek Endra bahkan menyebut kondisi ini sebagai bentuk kejahatan lingkungan yang dibiarkan tumbuh dalam diam.
Baca Juga:
Inilah 4 Perusahaan Tambang Nikel yang Tersingkir dari Raja Ampat
Sayangnya, kritik itu hanya akan menjadi teks kosong jika tidak segera ditindaklanjuti dalam bentuk regulasi tegas dan audit publik. Kita tak butuh lagi retorika, kita butuh keberanian politik untuk memaksa para pihak menunaikan tanggung jawabnya.
Tapi sekeras apapun kritik yang disampaikan, semuanya akan percuma jika tidak diikuti langkah konkret.
Di sinilah pentingnya ketegasan pemerintah: berani mencabut izin, menindak perusahaan yang ingkar, dan memaksa reklamasi dilakukan—dengan atau tanpa niat baik dari korporasi.
Baca Juga:
Terungkap, PT Gag Nikel Bisa Tambang di Raja Ampat karena Keppres Era Megawati
Inspektur Tambang dan Lemahnya Pengawasan Daerah
Satu kendala besar yang kerap disorot adalah lemahnya pengawasan. Setelah terbitnya UU Minerba baru, sebagian besar kewenangan pengawasan ditarik ke pusat. Akibatnya, inspektur tambang di daerah nyaris tak punya kuasa, padahal merekalah yang paling dekat dengan realitas di lapangan.
Ini menjadi ironi tersendiri. Ketika rekomendasi tambang bisa dikeluarkan di daerah, mengapa pengawasan tidak bisa berjalan setara? Jika pemerintah daerah tak bisa memastikan reklamasi dijalankan, lalu siapa yang akan melindungi masyarakat?