Bila dicermati secara mendalam, masing-masing identitas tersebut lebih banyak memiliki kesamaan fungsi ketimbang perbedaan. Justru pemecahan identitas (segmentasi) semacam itu dapat mengakibatkan konflik horizontal.
Sebab, negara berlaku kolonial dengan memberi value pada salah satunya dan mendegradasi yang lainnya. Padahal, masing-masing memiliki value yang tidak perlu dibeda-bedakan atau pelabelan lainnya.
Baca Juga:
Sekda Sumut Kobarkan Semangat Bela Negara, Teguhkan Tekad Pengabdian ASN Muda
Pola kebijakan semacam itu melemahkan posisi keguruan. Guru akan makin susah mempersatukan suara, diri, dan kepentingan. Satu sama lain akan mengalienasi diri. Asing dengan lainnya walau satu golongan.
Persoalan tersebut dapat dilihat pada kebingungan kita sekarang dalam melihat posisi identitas guru sebagai guru: sebagai profesi, buruh, atau tenaga kerja lepas?
Jika sebagai profesi, seharusnya guru tidak perlu berteriak untuk mencapai posisi prestise, terhormat, dan apresiasi upah. Seperti halnya posisi guru di Eropa yang penghasilannya bisa mencapai satu milyar dalam setahun, misalnya Luxemburg 1.1 M/tahun (OECD, 2021). Di Asia Timur, seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, dan Singapura, guru juga mendapat timbal balik upah yang setimpal.
Baca Juga:
20 Kader PDIP jadi Pejabat Eselon II Hasil Main Curang, Ada Pimpinan DPRD Jakarta
Lalu, jika menilik sejarah, pada masa Harun Al-Rasyid, upah tahunan rata-rata untuk penghapal Al-Qur’an, penuntut ilmu, dan pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sementara periwayat hadits dan ahli fiqih mendapatkan dua kali lipatnya, yaitu 4.000 dinar (NU Online).
Jumlah di atas tentu sangat kontras dengan fenomena upah guru Indonesia. Menjelang 80 tahun kemerdekaannya, Indonesia masih dengan wajah tanpa dosa menggaji guru ratusan ribu per bulan, terutama gaji para honorer dan guru tidak tetap (GTT) swasta.
Mereka adalah kasta paling rendah yang rentan terjerat pinjaman online. Harusnya mereka ini yang paling penting disorot dan dibantu. Di sini, pemerintah perlu mencarikan solusi, yang tentunya lewat kebijakan sekolah negeri dan swasta.