Pasalnya, pembacaan akan makin susah apabila ternyata pemerintah sendiri gagal memetakan mana guru berkualitas dan mana guru tidak berkualitas. Penaikan upah sampai puluhan juta juga pun akan sia-sia. Sebab, ketegasan, keberanian, dan kecermatan dalam menentukan nilai-nilai kualitas guru sudah gagal terpenuhi.
Selama ini, kacamata pembacaan sendiri hanya berkutat pada kalangan honorer—yang jelas-jelas memang terpinggirkan dan butuh pembebasan. Hal ini tentu saja mutlak harus kita suarakan bersama. Jangan jadi orang culas, mengharap kualitas pada tubuh yang jelas-jelas terseok-seok untuk hidup.
Baca Juga:
Sekda Sumut Kobarkan Semangat Bela Negara, Teguhkan Tekad Pengabdian ASN Muda
Akan tetapi, apakah kita juga pernah berusaha mulai melihat kalangan ASN bersertifikasi? Hitungan kasar, para ASN Serdik secara income bulanan sudah melebihi UMK Bekasi (5.5juta per 2025) sebagai wilayah UMK tertinggi di Indonesia.
Pendekatan transaksional akan membaca keadaan ini dengan berimbang. Sebab, dasar kerjanya menagih hak dan kewajiban secara adil. Apabila memang guru belum sejahtera, kita upayakan kesejahteraannya. Namun, apabila guru sudah sejahtera, kita dapat mulai tagih kualitasnya.
Dengan narasi yang lebih realistis, konkret, dan berani, profesi guru dapat menjadi tonggak perubahan pendidikan Indonesia menuju masa depan lebih cerah. Guru adalah pemimpin peradaban, dan sudah saatnya kita memberikan mereka penghormatan dan dukungan yang sepenuhnya layak.
Baca Juga:
20 Kader PDIP jadi Pejabat Eselon II Hasil Main Curang, Ada Pimpinan DPRD Jakarta
Sebab, maju mundurnya sebuah bangsa terletak pada kualitas guru yang mendidik generasinya. Kualitas guru dapat dimulai dengan setidaknya mulai berhenti meminggirkan hak-hak dasar mereka. Bukan lewat janji politik ala penjual kecap.
[Redaktur : Ados Sianturi]