Ukuran abstrak seperti ini mendegradasi nilai guru menjadi sekadar kalkulasi materi dan jabatan formalitas, bukan makna hakiki profesinya.
Ketika guru berjuang melawan keterbatasan gaji, akses, dan fasilitas, narasi yang muncul sering kali tentang perjuangan heroik mereka. Alih-alih menggali akar masalah, masyarakat justru menganggap keterbatasan itu sebagai hal yang wajar (normalisasi).
Baca Juga:
Sekda Sumut Kobarkan Semangat Bela Negara, Teguhkan Tekad Pengabdian ASN Muda
Bahkan, apresiasi seringnya lebih tinggi pada guru yang mampu mengabdi puluhan tahun dengan gaji ratusan ribu per bulan ketimbang prestasi seorang guru dalam kelasnya.
Sorot publik selalu tentang nilai semangat para guru. Bukan soal akar masalah sesungguhnya. Lebih parah lagi, motivasi abstrak semacam itu diproduksi oleh pemimpin dari tingkat sekolah sampai pemerintahan.
Kita harus mulai melihat guru secara realistis sebagai profesi yang mulia, tanpa harus terjebak dalam glorifikasi semu yang sulit ditangkap secara empiris dan profesional. Kalau tidak demikian, guru Indonesia akan terus menerus dimuliakan secara lisan, tetapi diabaikan dalam praktik.
Baca Juga:
20 Kader PDIP jadi Pejabat Eselon II Hasil Main Curang, Ada Pimpinan DPRD Jakarta
Pendekatan Transaksional
Selain upaya demitologisasi, pemerintah juga perlu memulai pendekatan transaksional pada guru. Idealnya, mengubah paradigma motivasional ke transaksional secara perlahan.
Maksudnya seperti aktivitas ekonomi pada umumnya, antara yang diberikan paling tidak setimpal dengan apa yang didapatkan. Di sini, hak dan kewajiban guru perlu ditagih secara seimbang (transaksional).