Kemudian, jika sebagai buruh, setidaknya harus ada aturan baku standar gaji guru serupa upah minimum. Di sini, kita bersatu layaknya buruh. Demo di hari guru, menuntut hak-hak yang terabaikan, mengucapkan solidaritas, dan meneriakkan ketidakadilan pada sosial. Atau mungkin juga melakukan perlawanan pada penindasan sepihak pada para kapital.
Lalu, jika sebagai tenaga kerja lepas, guru setidaknya bisa membuka tarif yang ideal saat jasanya dipakai (transaksi). Bukan harga pasaran layaknya bandrol barang pabrik. Guru bisa seperti para desainer grafis yang memasang tarif sesuai kesepakatan tuntutan hak dan kewajiban.
Baca Juga:
Sekda Sumut Kobarkan Semangat Bela Negara, Teguhkan Tekad Pengabdian ASN Muda
Atau mungkin kita hanya perlu melihat guru sebagai manusia, seperti yang dikatakan Iman Zanatul Haeri (Kompas, 28/11), sehingga guru, tanpa meminta pun, sangat perlu mendapat penghidupan layak dan berkecukupan karena dia manusia.
Oleh sebab itu, sangat penting mendudukan posisi guru di Indonesia. Biar kita juga tepat mendudukan perkara hak dan kewajibannya.
Nasib Bangsa Ada pada Guru
Baca Juga:
20 Kader PDIP jadi Pejabat Eselon II Hasil Main Curang, Ada Pimpinan DPRD Jakarta
Pada siapa lagi nasib bangsa ini dipelihara kalau bukan oleh anak-anak mudanya. Lalu, anak-anak muda ini siapa yang memelihara kalau bukan para gurunya melalui pendidikan.
Meski terdengar klise, namun hal ini tentu saja tidak berlebihan lantaran guru memang penggerak utama pendidikan. Dari pendidikan itulah bangsa ini (ekonomi, sosial, agama, budaya, dan politik) dipelihara. Sebagaimana yang dikatakan Henry Giroux, bahwa guru adalah intelektual publik.
Pandangan masyarakat, terutama pemimpin Indonesia, tentang guru harus segera di-demitologisasi. Seperti yang dicanangkan oleh begawan pendidikan Prof. Dr. H.A.R. Tilaar—sebuah upaya menghapus mitos-mitos dunia keguruan (pengabdian,” “keikhlasan,” dan “kerelaan”).